Story

Aku bukan manusia setengah salmon

Satya Nugraha
12 min readMay 13, 2021

Raditya Dika pernah bilang, ‘Kita harus seperti ikan salmon. Tidak takut pindah dan berani berjuang untuk mewujudkan harapannya. Bahkan, rela mati di tengah jalan demi mendapatkan apa yang diinginkannya.’

Mungkin aku salah satu yang mati di tengah jalan itu.

Sudah hampir setahun kamu pergi, tapi aku masih mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Semuanya masih tersimpan rapi dalam ingatanku. Entah bagaimana caranya semesta bisa berkonspirasi mempertemukan manusia jelek dan bego ini dengan manusia lain yang pesonanya selalu bikin kagum banyak orang, lalu mereka berdua saling berbagi cerita. Ajaib.

Sewaktu lagi menulis cerita ini, ingatanku membawaku kembali ke masa dimana semua cerita ini dimulai. Di sebuah kota yang namanya menggambarkan kisah cerita ini. Malang.

‘Lihat deh, keluarga aku pergi liburan. Aku pengen ikut tapi gak bisa pulang karena kuliah semester pendek ini,’ katamu menggerutu.

‘Aku juga pengen ke pantai. Tapi teman-temanku gak ada yang mau diajak pergi,’ aku juga ikut menggerutu. ‘Apa kita ke pantai bareng aja? Kamu mau gak?’

Tidak perlu menunggu lama untuk kamu menerima ajakanku. Waktu itu kamu memang lagi pusing-pusingnya mengikuti kuliah semester pendek. Sedangkan aku juga tenggelam dengan Praktek Kerja Lapang yang melelahkan. Pantai jadi tempat yang cocok untuk melepaskan semua beban itu.

Hari yang ditunggu pun segera tiba. Semua barang-barang sudah aku masukkan dengan rapi ke dalam tas sejak malam sebelumnya. Pada malam itu, aku jadi susah tidur. Selain karena excited, aku baru sadar kalau aku tidak tau jalan menuju ke pantai. Kalau aku nyasar ke dunia lain bawa anak orang gimana?

‘Kita mau sarapan dimana?’ tanyamu sambil naik ke atas sepeda motor Honda Beat tua berwarna putih biru. Sepeda motor yang sudah menemaniku sejak masih jadi anak SMA culun lengkap dengan warna behel yang norak.

‘Aku mau ajak kamu makan soto banjar paling enak di Malang. Biasanya kalau lebaran Idul Adha gak bisa pulang, aku sama teman-temanku selalu makan disitu sehabis sholat. Pokoknya pasti enak!’ jawabku.

‘Wah aku belum pernah makan soto banjar. Aku penasaran gimana rasanya. Ayo berangkat, aku udah laper bayanginnya.’

Setelah dua jam lebih perjalanan ke selatan Malang, kami pun sampai di pantai yang dituju. Masalah tidak tau jalan akhirnya terpecahkan dengan teknologi Google Maps. Walaupun kita harus berkali-kali berhenti karena kamu salah membaca petunjuk dari Google Maps. Hal yang sangat wajar. Di dunia ini mana ada cewek yang bisa membaca Google Maps dengan benar selain mbak-mbak suara Google Maps-nya itu sendiri.

‘Ini pakai sunscreen dulu,’ katamu sambil memberikan sunscreen yang baru kamu gunakan.

Aku menatap kebingungan. Ini pertama kalinya aku menggunakan sunscreen. Kampungan memang. ‘Gimana cara pakainya ya? Kalo kayak gini bener gak?’ kataku sambil memencet perlahan botol suncreen lalu mengusapkannya secara acak ke wajah.

‘Ih bukan gitu caranya. Sini aku bantu biar cepet. Diem ya jangan gerak,’ kamu mengambil sunscreen itu dari tanganku lalu dengan cekatan mengaplikasikannya ke wajahku. ‘Mukanya biasa aja gak usah salting,’ katamu lalu tersenyum. Mengingatkanku pada bulan sabit yang biasa aku lihat sewaktu sedang melamun di depan kamar kos. Siapa yang tidak akan salting, wajah kita hanya berjarak kurang dari sepuluh sentimeter. Aku melihat pemandangan terindah dalam hidupku dengan jarak yang sangat dekat.

Di pinggir pantai, kita duduk berdua menikmati deburan ombak dan sejuknya angin pantai sambil memakan coklat yang kamu bawa. Pantai ini sangat sepi dan hening. Hanya ada sepasang kekasih yang sedang melakukan pre-wedding. Kita berdua diam-diam mengamati mereka dari jauh dan sesekali tertawa saat si cewek marah karena cowoknya berjalan terlalu cepat meninggalkan dia yang kesulitan dengan gaunnya sendiri. Cinta memang kadang selucu itu.

Aku lalu mengeluarkan kamera yang kupinjam dari temanku. ‘Ayo kita foto-foto. Pantainya udah sebagus ini sayang banget kalau kita cuma duduk aja,’ ajakku. Diam-diam aku tau kamu sangat suka difoto. And I love to take pictures, because it’ll last longer. Saat itu, you’re the only thing I want to capture.

Tanpa kusadari, di saat kita berdua sibuk merekam setiap momen, Cupid menembakkan anak panahnya. Kali ini dia tidak meleset sedikitpun. Menancap lebih dalam dari biasanya. Bahkan sampai hari ini, anak panah itu masih belum bisa lepas. Meninggalkan cinta sekaligus luka yang tidak akan pernah sembuh.

Hari ini sudah hampir dua tahun sejak momen pantai tidak terlupakan itu. Sejak saat itu, banyak cerita yang kita lalui bersama. Tapi aku akan menuliskannya lain waktu. Kali ini aku hanya ingin bercerita tentang ‘pindah’.

Seakan waktu tidak memberi kesempatan untuk mengobati luka, hidup terus berjalan. Banyak hal yang terjadi setelah kamu pergi. Aku akhirnya berhasil lulus kuliah setelah melewatinya dengan babak belur, lalu mendapatkan perkerjaan yang mungkin hanya karena keberuntungan. Mencoba terus bergerak, itu yang aku lakukan. Dengan membawa semua luka yang belum kering, aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengecewakan lebih banyak orang lagi.

Tapi ternyata aku salah. Aku yang merasa sudah berjalan jauh, ternyata tidak pernah bergerak kemana-mana.

‘Kak, kamu kapan pulang?’ bunyi Whatsapp dari Mama di suatu malam.

‘Aku belum tau, Ma,’ jawabku seadanya.

‘Memangnya kamu masih ada kepentingan disana? Kalau udah gak ada, pulang aja sekalian pindahin barang-barang kamu. Sebentar lagi puasa, biar kita bisa puasa bareng sekeluarga,’ Mama langsung membalas pesanku.

Aku terdiam selama beberapa saat, lalu membalas, ‘Iya Ma, nanti aku kabarin kalau aku pulang.’ ‘Kalau belum siap pindah gakpapa, nanti aja. Kamu yang penting pulang dulu. Secepatnya kalau bisa. Nenek sekarang lagi sakit.’ Lagi-lagi aku pun kembali meng-iya-kan pesan terakhir dari Mama.

Alasanku belum juga pulang sebenarnya bukan karena masih sibuk dengan pekerjaan atau mengurus urusan akademik pasca kelulusan. Tapi aku masih belum mau pulang dengan keadaan hati yang patah. Aku tidak ingin orang lain ikut larut dalam kesedihanku. Hari-hari rasanya selalu panjang, seperti aku tenggelam di saat dunia tetap berjalan normal seakan tidak terjadi apa-apa. Aku tidak bisa bangun dari kasur tanpa harus menangis dulu berjam-jam dan untuk tidur aku harus melakukan hal yang sama.

Kata ‘pulang’ juga rasanya sudah tidak mempunyai arti. Bagiku, rumah adalah kamu. Karena kamu adalah tempat pulang yang sebenarnya. Bukan kampung halaman yang dicari selama ini, tapi tempat bernaung semua perasaan. Seperti rumah yang sempurna, sesuatu yang bisa melindungi dari gelap, hujan, dan menawarkan kenyamanan. Kalau sudah nyaman, kenapa pindah? Aku hanya ingin pulang ke rumah, pulang ke hati seseorang.

Tapi rumahku sudah pergi.

Karena Whatsapp dari Mama beberapa hari yang lalu, aku pun mulai membereskan barang-barang di kamarku. Sebagai seorang cowok, aku termasuk orang yang rajin untuk membersihkan kamar sendiri. Tapi sudah beberapa minggu ini rasanya aku membiarkan kamarku berantakan. Buku-buku yang berserakan di bawah meja, gitar tua yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur, dan tumpukan baju kotor yang sudah menggunung di dalam laundry bag.

Aku berencana untuk memisahkan barang-barangku dalam beberapa kategori. Karena aku sudah cukup lama tinggal disini, barang-barang di kamarku didominasi oleh benda-benda yang sudah tidak aku gunakan lagi. Sebagian besar akan aku jual dan aku berikan ke yang lebih membutuhkan agar tetap bermanfaat. Aku hanya menyisihkan sebagian kecil untuk aku simpan seperti buku-buku favorit, barang-barang elektronik, dan beberapa pakaian yang masih sering digunakan.

Di saat sedang sibuk mengeluarkan barang satu persatu dari lemari kabinet, aku menemukan sebuah kotak kardus di laci ketiga. Aku terdiam dan mencoba mengingat apa isi dari kotak kardus ini. Lalu, aku mengambilnya dan perlahan-lahan mulai membuka kotak tersebut. Ah, aku baru ingat sekarang. Ternyata kotak ini adalah tempat aku menyimpan post it berisi pesan-pesan dari orang lain yang diberikan kepadaku. Aku memang mempunyai kebiasaan untuk menyimpan pesan yang orang lain berikan dalam bentuk apapun, tujuannya agar aku dapat selalu mengevaluasi diri dan menjaga harapan-harapan yang mereka berikan.

Seluruh isi dari kotak kecil ini sudah pasti kebanyakan adalah pemberian dari kamu. Karena kebiasaan kita yang selalu menyelipkan pesan jika kita ingin memberikan sesuatu kepada satu sama lain. Salah satu bentuk love language untuk kita yang jarang bertemu karena kesibukan masing-masing.

Dari sekian banyak pesan dalam bentuk post it, ada satu pesan yang menarik perhatianku. Pesan berbentuk kotak kecil yang sudah dihias. Kotak ini mempunyai dua bagian, bagian luar dan bagian dalam. Persis seperti korek api, tapi lebih kecil. Pada bagian luar di atasnya terdapat tulisan: ‘whenever you feel tired…’ dan saat aku membuka bagian dalam dari kotak kecil itu terdapat pesan lanjutan: ‘drink a coffee & call me’.

Aku tersenyum dan menghela nafas panjang. Air mataku mulai terkumpul. Aku teringat beberapa waktu lalu setelah kamu pergi, handphone-ku masih sering berdering tengah malam karena panggilan masuk darimu. Entah karena kamu ingin sekadar bercerita atau bahkan ketika kamu hanya diam dan tidak mengeluarkan suara sama sekali. But I never ignore or miss any phone calls of yours. Because I know, when you call me, it means that you need me.

Selepas kamu pergi, aku juga pernah melakukan hal yang sama. Di saat pikiran dan hatiku sedang lelah dan hancur, aku meneleponmu. Butuh keberanian luar biasa hingga aku akhirnya memutuskan mengambil handphone dan meneleponmu. Malam itu aku hanya ingin ditemani. Itu saja.

Lama aku menunggu hanya terdengar nada sambung hingga akhirnya panggilan itu berhenti. Tidak ada jawaban. Aku berpikir mungkin kamu sudah terlelap dalam tidurmu. Akhirnya aku membuka Whatsapp kembali dan membaca percakapan lama kita. Kemudian aku sampai pada bagian yang membuatku tersenyum sekaligus menangis.

Isinya Whatsapp sederhana darimu: ‘I can’t lose you.’ Kala itu kita baru saja pulang sehabis menonton film Frozen II. Kamu mengutip dialog saat Elsa sedang berbicara dengan adiknya, Anna. Lalu aku membalas pesanmu seperti dialog yang Anna katakan kepada Elsa: ‘You’ll always have me.

Mungkin kamu mengira aku hanya menirukan apa yang Anna katakan untuk membalas Whatsapp darimu. Tapi sebenarnya, aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh. You’ll always have me. And I can’t lose you. Dan setelah kepergianmu, hidup rasanya tak bisa berjalan baik-baik saja.

Aku akhirnya jatuh terlelap ke dalam tidur setelah kesedihan menguras banyak energi dan membuatku kelelahan. Layar handphone-ku masih terbuka menampilkan percakapan denganmu. Dan hingga pagi datang, tidak ada satupun telpon masuk atau pesan sekadar menanyakan apa yang terjadi malam tadi.

Hening. Seakan malam itu tidak terjadi apa-apa.

‘Ma, aku pulang besok,’ aku mengirim Whatsapp untuk mengabari kepulanganku pada Mama. ‘Tapi aku belum sekalian pindahan, nanti aku bakal balik lagi kesini.’

Beberapa menit kemudian, handphone-ku berbunyi. Mama membalas pesanku, ‘Iya gakpapa, hati-hati ya nanti. Barang-barang yang mau dibawa udah siap semua? Jangan lupa selalu pakai masker dan bawa handsanitizer ya.’

Astaga, aku lupa persediaan masker dan handsanitizer ku sudah habis. Saking tidak pernah keluar dari kamar, aku sampai melupakan pandemi yang masih belum berakhir. Virus Corona sialan.

Aku segera pergi ke Indomaret yang berada tidak jauh dari kos ku. Malam itu kota Malang terasa berbeda. Malang yang dulu selalu ramai oleh mahasiswa-mahasiswa tidak kenal waktu, sekarang seperti sekolah yang ditinggalkan murid-muridnya saat sedang libur semester. Hanya ada penduduk setempat yang masih bekerja sampai malam demi sesuap nasi. Hening dan dingin.

Aku mengambil beberapa bungkus masker dan sebotol handsanitizer di rak paling ujung Indomaret lalu membawanya ke kasir. Sesampainya di kasir aku menyerahkan barang-barang yang aku ambil tadi untuk dihitung total harganya. Selagi mbak-mbak kasir menghitung belanjaanku, perhatianku teralihkan ke arah layar monitor di belakang kasir.

Layar monitor tersebut menampilkan video klip sebuah lagu dari Pamungkas. Lagu itu bukan lagu baru. Tetapi kembali viral akhir-akhir ini gara-gara sebuah video seorang cewek meng-cover lagu tersebut di TikTok. To The Bone, judul lagu yang diputar tepat di belakang kepala mbak-mbak kasir yang masih menghitung total belanjaanku.

Bagi sebagian besar orang, ketika mendengar lagu ini yang akan mereka ingat hanyalah sebuah lagu yang sedang viral dan selalu dijadikan backsound video dimana-mana meskipun arti lagu dengan videonya sangat tidak nyambung. Tapi bagiku, lagu ini selalu mengingatkanku akan hal lain.

Pada suatu malam minggu di tahun 2019, kampus sebelah mengadakan pertunjukan musik dengan guest star utama Pamungkas. Aku yang menyukai lagu-lagu dari Pamungkas segera membeli dua buah tiket dan mengajakmu untuk menemaniku. Selain itu, aku ingin agar kamu mempunyai waktu rehat sejenak dari kesibukan yang menyita sebagian besar waktumu.

Semakin malam, dome kampus semakin ramai. Penonton malam ini terdiri dari berbagai kalangan. Kebanyakan adalah pasangan muda-mudi yang ingin menikmati malam minggunya, lalu ada sekumpulan cewek-cewek fans garis keras dari Pamungkas, dan tidak sedikit yang datang sendirian hanya untuk menikmati pertunjukan.

Setelah berbagai pengisi acara tampil, pertunjukan memasuki penampilan utama. Pamungkas dan timnya naik ke panggung. Seluruh penonton menyambut dengan tepuk tangan meriah, tidak lupa dilengkapi dengan teriakan sekumpulan cewek-cewek fans garis keras tadi. Pamungkas menyapa hangat penonton. Lalu mulai membawakan beberapa lagu. Suara penonton yang ikut bernyanyi dengannya menggema ke seluruh penjuru dome. Semua bernyanyi sekeras-kerasnya seakan ada perasaan yang ingin mereka sampaikan.

Beberapa lagu telah dibawakan. Lagu selanjutnya adalah To The Bone. Ini adalah lagu favoritku sejak hari pertama album kedua Pamungkas rilis. Pamungkas mulai bernyanyi kembali. Aku hanyut terbawa suasana menikmati lagu ini. Kata Pamungkas ini adalah lagu cinta. Dan malam ini aku mendengarkannya bersama orang yang aku cintai.

Tepat di saat masuk reff pertama, kamu yang sedari tadi ada di depanku membalikkan badan dan membisikkan sesuatu. Aku mendekatkan telinga agar dapat mendengar lebih jelas.

‘Aku mau ke pinggir,’ katamu pelan.

Aku yang saat itu mengira kamu ingin berdiri di sampingku lalu bergeser dan menarik tanganmu untuk mundur.

‘Bukan, aku mau ke ping…,’ kamu tidak sanggup menyelesaikan kata-katamu. Aku langsung sadar bahwa ada yang tidak beres denganmu. Dengan sigap aku menggenggam tanganmu dan menuntunmu berjalan keluar dari kerumunan. Aku mengerahkan segala cara untuk membelah kerumunan penonton yang masih larut dalam nyanyian Pamungkas serta sesekali memastikan bahwa kamu masih baik-baik saja.

Tepat setelah keluar dari kerumunan penonton, kamu sudah tidak sanggup lagi berdiri. Aku langsung menangkap tubuhmu, membawamu ke pinggir, lalu menyandarkanmu ke tembok dome. Kamu masih sadar. Beruntungnya di dekat situ ada dua petugas medis yang sedang berjaga. Aku langsung meminta pertolongan mereka. Seorang petugas lari untuk mengambil air minum sedangkan seorang lagi bergegas memeriksa kesehatanmu.

Setelah diberi air minum dan mengatur napas dengan seksama, kesadaranmu mulai pulih. Aku mengucapkan terima kasih kepada kedua petugas medis yang sudah membantu, lalu duduk di sebelahmu bersandar pada tembok. Terdengar hembusan napas panjang dari mulutku. Aku lega karena kamu ternyata hanya kelelahan.

‘Maaf ya, aku jadi merusak momen,’ katamu meminta maaf.

‘Kok kamu yang minta maaf? Justru aku yang mau minta maaf karena udah ngajak kamu pergi. Kamu jadi kelelahan.’ kataku yang saat ini sedang merasa bersalah karena membuatmu hampir hilang kesadaran.

‘Tapi ini kan penyanyi kesukaanmu, kamu nungguin banget acara malam ini. Aku jadi gak enak.’

Aku menatap matamu, lalu berkata pelan. ‘Aku masih bisa menonton ratusan konser musik lagi, tapi itu semua gak ada artinya kalau kamu sakit dan gak bisa nemenin aku. Aku akan melakukan segalanya buat kamu, bahkan jika harus mengorbankan diri aku sendiri.’ Kamu tersenyum. ‘Besok aku temenin ke dokter ya.’

‘Terima kasih ya,’ katamu. ‘Jangan pernah tinggalin aku ya.’

‘Enggak akan pernah.’

Di atas panggung, Pamungkas hampir selesai membawakan lagu To The Bone-nya. Saat semua orang berdiri dan bernyanyi menikmati pertunjukkan, sepasang kekasih justru menikmatinya dengan cara berbeda. Mereka berdua duduk tersandar pada tembok di salah satu sudut dome tersebut. Tenggelam dalam cinta yang sudah merasuk sampai ke tulang-tulang.

Would you just take me home?
Would you just love me long?
Or should I keep hoping on?
Should I keep hoping on?

I want you to the bone
I want you to the moon and back

Jika ditanya apa tempat yang paling kubenci di dunia ini, mungkin jawabannya adalah bandara. Tempat dimana dua hal berbeda dapat terjadi secara bersamaan. Salam perpisahan yang menyakitkan dan pelukan hangat dari sebuah pertemuan. Tapi bagiku bandara lebih sering mengingatkan pada yang pertama.

Mama dan Papah sudah menungguku sejak sejam yang lalu. Pesawatku terlambat datang karena penerbangan sebelumnya mengalami kendala. Setelah keluar melalui jalur kedatangan, hawa panas kota ini langsung terasa. Di dalam mobil, aku menatap keluar jendela sepanjang perjalanan ke rumah. Menyenangkan melihat banyak hal yang tidak pernah berubah dari kota ini.

Aku pulang.

Selama di rumah aku lebih banyak mengurung diri di kamar dan sesekali membantu Mama merawat nenek yang sedang sakit. Bahkan teman-temanku tidak ada yang mengetahui bahwa aku pulang. Aku hanya menyibukkan diri dengan pekerjaan atau mengerjakan hal-hal yang dulu aku senangi. Tapi itu semua tidak membantu sama sekali. Badai memori tetap menerjang kuat. Meruntuhkan seluruh tembok yang sudah susah payah dibangun. Membanjiri rumah tempat dimana senyum tinggal dengan nyaman.

Suatu hari adikku masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu dahulu.

‘Kak, kamu abis nangis?’ katanya melihatku bekerja di depan layar laptop dengan mata yang masih basah.

‘Eh, enggak kok. Gak kenapa-napa,’ jawabku pendek.

‘Masalah kerjaan ya?’ dia kembali bertanya karena penasaran.

‘Iya,’ kataku enggan membenarkan salah paham adikku. ‘Jangan bilang ke Mama sama Papah ya.’ Adikku lalu mengangguk.

Jika hidup adalah berpindah, maka aku selalu terjebak di antara perpindahan-perpindahan ini. Di saat aku berusaha untuk terus bergerak, aku mungkin melupakan sesuatu. I forget about memories. I am too busy with distractions. And when it hits, it hits hard. Apa yang harus dilakukan pada kenangan yang memaksa untuk terus diingat?

Aku jadi berpikir, mungkin aku tidak perlu pindah. Aku tidak perlu menjadi manusia setengah salmon. Aku hanya perlu menerima segala sesuatu yang kamu tinggalkan saat kamu pergi. Mulai mentoleransi rasa sakit yang aku punya agar terlihat normal di depan orang lain. Menopang sendirian sebegitu beratnya perasaan padamu yang tidak pernah berubah. Menerima bahwa meskipun aku sudah berusaha melakukan yang terbaik, itu semua tidak akan pernah cukup.

Maybe, I deserve whatever happens.

Cerita ini belum berakhir. Setidaknya itu yang selama ini masih aku percaya. It shouldn’t end this way. Aku memilih untuk menjaga semua hal yang tersisa dari ‘rumah’ yang pernah aku tinggali. Tempat aku menitipkan hati yang kamu bawa pergi. Lalu seperti yang aku selalu bilang, aku tidak akan pernah kemana-mana. Dan masing-masing dari kita, jika diizinkan, akan saling bersinggungan kembali.

Terdengar Mama memanggilku dari luar kamar. Sudah waktunya berbuka puasa. Besok adalah hari lebaran. Aku langsung menutup laptop, mengusap air mata, dan menata senyum kembali. Lalu bergegas menyusul keluar kamar. Seluruh anggota keluarga besar sudah menungguku untuk berbuka puasa bersama mereka.

--

--

Satya Nugraha
Satya Nugraha

Written by Satya Nugraha

Writing stories, ideas, design, and mostly about myself — Product Designer @tiket.com

Responses (1)